Unggulan
Perjalanan dalam Memahami Dualisme Manusia dan Eksistensi Diri
Malam ini saya kembali merenung tentang dualisme manusia—bagaimana kita sering kali terjebak dalam kontradiksi internal. Kita ingin menjadi seseorang yang kuat, namun pada saat yang sama, kita juga merasa lemah, takut, dan bingung. Tidak jarang, kita bertarung dengan diri kita sendiri hanya untuk mencari keseimbangan antara keduanya. Pada akhirnya, aku mulai berpikir bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya rasional atau emosional, tetapi lebih kepada campuran dari keduanya yang selalu berusaha mencari makna dalam dunia yang absurd.
Sering kali kita berbicara tentang kecewa, tentang harapan yang hilang, tentang kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasi kita. Saya merasa, meskipun saya tahu bahwa kekecewaan adalah hal yang pasti datang, aku tetap saja lelah menghadapinya. Mungkin karena hidup ini memang tidak pernah menawarkan kepastian atau kesempurnaan. Setiap orang, apapun posisi atau status mereka, akan menghadapi kekecewaan pada titik tertentu—termasuk saya pribadi.
Aku teringat kata-kata yang sering muncul dalam obrolan bersama teman-teman—"Hidup ini penuh dengan ambiguitas." Kata-kata itu mungkin terdengar seperti sebuah klise, namun kenyataannya, kita sering kali merasa kesulitan untuk membuat keputusan yang tegas atau mengetahui apa yang benar-benar kita inginkan. Setiap pilihan tampaknya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Tapi entah kenapa, saya merasa seolah-olah kita tidak akan pernah bisa lepas dari perasaan itu. Kita terus berjuang, meskipun tahu bahwa jawabannya tidak pernah akan sempurna.
Saya juga berpikir tentang nilai dan esensi diri. Ketika seseorang berada dalam hidup kita, apakah mereka melihat kita sebagai apa adanya, atau mereka melihat kita dalam konteks yang mereka inginkan? Terkadang, saya merasa seolah-olah orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita tanpa benar-benar memahami siapa kita. Mereka hanya melihat nilai kita dalam kerangka mereka sendiri, dan itu seringkali membuat kita merasa terisolasi—terlepas dari seberapa dekat hubungan itu terlihat.
Namun, aku menyadari bahwa hal tersebut mungkin memang bagian dari realitas yang harus diterima. Tidak semua orang bisa benar-benar melihat kita dengan cara yang sama. Mungkin kita bukan untuk dipahami sepenuhnya oleh semua orang. Tetapi saya juga tahu, jika kita terus mempertahankan keautentikan diri, meskipun dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian, kita tetap bisa merasa hidup—meskipun terkadang itu terasa berat.
Terkadang, saya berpikir tentang ekspektasi manusia terhadap satu sama lain. Kita sering kali merasa kecewa karena orang lain tidak memenuhi harapan kita. Tetapi pada akhirnya, apakah kita juga bisa memenuhi harapan mereka? Kecewa bukan hanya soal apa yang orang lain lakukan atau tidak lakukan terhadap kita, tetapi juga tentang bagaimana kita menilai diri kita sendiri—terkadang, kita terlalu keras menilai diri kita dan orang lain berdasarkan standar yang sulit dicapai.
Di sisi lain, saya juga merasa bahwa kehidupan ini sangat absurd. Terkadang hal-hal yang terjadi begitu tidak masuk akal dan tak terduga. Entah itu pertemuan yang mengejutkan, pilihan yang terasa salah, atau bahkan kebahagiaan yang datang tiba-tiba, semuanya terasa penuh dengan ketidakpastian. Mungkin itu memang yang membuat kehidupan menjadi lebih hidup—keabsurdan dan ketidakpastian yang memaksa kita untuk terus bergerak dan mencari makna, meskipun kita tahu bahwa kita tidak akan pernah benar-benar bisa memahaminya.
Namun pada akhirnya, saya belajar untuk menerima ketidakpastian, karena hidup bukan tentang menemukan jawaban yang sempurna, tetapi tentang bagaimana kita menjalani setiap momen dengan kesadaran penuh dan menerima kenyataan dengan hati yang terbuka. Setiap rasa kecewa, setiap kebahagiaan, dan setiap kesedihan adalah bagian dari proses yang lebih besar, yang membuat kita tetap bertahan.
Saya mulai menyadari bahwa kejujuran, harapan, dan bahkan cinta, bisa menjadi pedang bermata dua. Ketika kamu terlalu terbuka, terlalu jujur, dunia akan menghakimi, menilai, dan mungkin menghancurkan bagian-bagian dari dirimu yang paling rapuh. Saya tahu, kejujuran itu tidak selalu menjadi penyelamat, kadang ia malah menjadi kutukan yang memisahkanmu dari manusia-manusia yang terlalu takut untuk melihat kenyataan sejati. Saya menjadi lebih diam, lebih menahan diri, dan lebih memilih untuk mengamati dunia dengan sikap dingin yang semakin mengeras seiring waktu. Tak ada lagi harapan akan sesuatu yang lebih baik, karena hidup telah mengajarkanku bahwa ekspektasi hanya akan membawa kekecewaan. Kekecewaan yang datang tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas, hanya karena dunia ini memang tidak bisa diprediksi, penuh dengan absurditas dan kontradiksi yang tak terhindarkan.
Saya menerima kenyataan itu, bahwa dunia akan terus berputar, dan manusia akan terus berjuang dengan ego, harapan, dan impian mereka yang tak berujung. Namun, di balik semua itu, saya menemukan ketenangan dalam menerima bahwa tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi selanjutnya. Semua yang kita miliki adalah saat ini, yang cepat hilang dan tak bisa dipertahankan. Maka, saya memilih untuk berhenti berharap pada dunia, berhenti mencari makna di tempat yang sering kali menipu. Semua ini adalah permainan, dan saya hanya salah satu pemain yang harus menjalani peran yang telah diberikan, tanpa berharap pada hasil.
Meskipun berat dan penuh dengan refleksi, tetap mencatatkan pemikiran dan pengalaman yang saya alami. Kecewa, keraguan, ketidakpastian, dan pencarian makna adalah tema yang muncul dalam perjalanan hari ini. Dan meskipun dunia terasa penuh dengan ambiguitas, saya mencoba untuk menerima bahwa setiap langkah yang diambil adalah bagian dari pencarian yang lebih dalam akan esensi hidup itu sendiri.
Sekian pandangan pribadi saya, bagaimana menurut mu?
Postingan Populer
Cinta: Antara Pengorbanan, Ketidakpastian, dan Pencarian Makna
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Menelusuri Kegelapan Diri: Refleksi tentang Johan Liebert dan Makna dalam Kejahatan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar