Unggulan
Si Kancil, Moralitas, dan Refleksi Filosofis Manusia
Sebagai manusia, kita sering kali berhadapan dengan dilema moral yang tidak jauh berbeda dari apa yang dihadapi Kancil. Kecerdikan atau kelicikan? Moralitas atau amoralitas? Dalam kehidupan sehari-hari, kita—seperti Kancil—sering kali berhadapan dengan pilihan antara mengikuti aturan atau melanggarnya untuk mencapai tujuan kita.
Kita bisa melihat bahwa manusia menciptakan moralitas sebagai sesuatu yang "tinggi", sebagai upaya untuk mengatur diri dan masyarakat. Moralitas adalah rangkaian nilai-nilai yang mendasari tindakan kita, yang kita sepakati sebagai benar atau salah. Namun, seiring waktu, kita menyadari bahwa moralitas itu sendiri sangatlah ambiguitas. Terkadang, apa yang dianggap benar oleh sebagian orang bisa sangat berbeda dengan pandangan orang lain.
Di satu sisi, moralitas adalah alat untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat, tetapi di sisi lain, moralitas sering kali digunakan untuk mengatur dan mengendalikan, membatasi kebebasan individu. Apakah kita benar-benar sepenuhnya bebas dalam memilih tindakan kita, atau kita selalu terikat oleh kode etik yang kita ciptakan sendiri?
Sebagai contoh, dalam cerita Kancil, saat ingin mencapai timun di seberang sungai dengan "menginjak" buaya atau saat "memanipulasi" anjing agar bebas dari kurungan, kita bisa melihat kecerdikan sebagai bentuk adaptasi terhadap dunia yang penuh dengan aturan dan atau konflik. Namun, apakah adaptasi ini selalu benar? Ketika kita memilih untuk melanggar aturan demi keuntungan pribadi,
Apakah kita menciptakan ketidakadilan? Atau justru kita sedang menunjukkan bentuk kelicikan yang dibenarkan oleh keadaan?
Dalam kehidupan manusia, kita juga dapat menemukan contoh serupa. Dalam dunia bisnis, misalnya, kecurangan dan korupsi sering kali dianggap sebagai tindakan "cerdik" oleh mereka yang terlibat, meskipun tindakan tersebut jelas merugikan orang lain. Seperti Kancil yang memanfaatkan kelicikannya untuk menghindari bahaya, dalam kehidupan nyata, banyak orang yang mencoba mencari celah dalam sistem untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa mempedulikan kerugian yang ditimbulkan pada orang lain.
Begitu juga dalam dunia media sosial, banyak orang yang menggunakan taktik manipulatif atau "clickbait" untuk mendapatkan perhatian atau keuntungan. Dalam konteks ini, apakah mereka "cerdik" karena berhasil memanfaatkan tren dan algoritma media sosial, atau apakah mereka justru sedang memperlihatkan kelicikan yang merugikan orang lain dengan cara yang tidak etis? Hal tersebut adalah perdebatan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sudut pandang psikologi, banyak tindakan manusia yang tampak amoral atau licik sebenarnya merupakan refleksi dari kebutuhan dan tekanan batin yang mendalam. Manusia sering kali terjebak dalam dilema antara kebutuhan pribadi dan kepatuhan terhadap norma sosial. Keputusan-keputusan yang kita buat—apakah itu untuk mematuhi moralitas atau melanggarnya—sering kali didorong oleh apa yang kita rasa paling "menguntungkan" untuk diri kita sendiri, meskipun kita tahu ada dampaknya terhadap orang lain.
Moralitas, dalam banyak hal, memang sesuatu yang diciptakan oleh manusia untuk menjaga ketertiban dan keadilan. Namun, manusia juga memiliki kemampuan untuk menciptakan anti-tesis dari moralitas itu sendiri, karena kita menyadari bahwa terkadang aturan yang kita buat pun bisa tidak adil atau tak relevan dengan perubahan zaman. Seiring berkembangnya masyarakat, norma-norma dan kode etik pun berubah, kadang bahkan dibalik atau dilanggar demi alasan yang lebih pragmatis.
Seperti Kancil yang licik namun cerdik, manusia sering kali berhadapan dengan pilihan antara mematuhi aturan atau mengeksploitasi celah-celah moralitas demi tujuan pribadi. Yang jelas, moralitas—meskipun kita ciptakan—tidak selalu memberi jawaban yang mudah, dan terkadang, kita pun perlu mempertanyakan, sejauh mana kita benar-benar bebas untuk memilih dalam kerangka moral yang kita bangun sendiri.
Jadi, apakah Kancil itu cerdik atau licik? Atau mungkin dia hanyalah refleksi dari keputusan yang kita buat setiap hari—mencari cara untuk bertahan hidup dalam dunia yang penuh dengan ambiguitas moral?
Apakah kita sedang berperang dengan moralitas atau sedang berusaha untuk memahami bahwa moralitas, seperti segala sesuatu yang diciptakan manusia, bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sebuah proses yang terus berkembang?
Inilah yang saya renungkan hari ini: Moralitas adalah bagian dari manusia, begitu juga ambiguitas dalam memilih antara cerdik dan licik.
Postingan Populer
Cinta: Antara Pengorbanan, Ketidakpastian, dan Pencarian Makna
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Menelusuri Kegelapan Diri: Refleksi tentang Johan Liebert dan Makna dalam Kejahatan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar